
Oleh Mukhtar Latif(Guru besar UIN STS Jambi )
Pemerhati Kebijakan Publik)Inflasi kembali jadi percakapan hangat, dari warung kopi hingga ruang rapat pemerintahan. Di tengah stabilitas nasional yang relatif terkendali, Provinsi Jambi justru mencatat inflasi cukup tinggi, sekitar 3,7 persen year-on-year per September 2025. Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2025) menempatkan Jambi dalam sepuluh besar provinsi dengan inflasi tertinggi di Indonesia. Bahkan ekspose terbaru menteri keuangan, Jambi telah menempati peringkat ke 6 di tanah air.Kondisi ini bukan hal baru, tapi kali ini terasa berbeda. Ketika sebagian besar provinsi mulai menstabilkan harga, Jambi justru harus bergulat dengan kenaikan harga pangan, bahan bakar, dan biaya logistik.
Karakter inflasi Jambi bersifat volatile, mudah bergejolak saat pasokan terganggu atau permintaan meningkat. Struktur ekonomi yang bergantung pada sektor pertanian membuat daerah ini sangat sensitif terhadap cuaca ekstrem dan gangguan distribusi.Seperti dijelaskan Sukirno (2020, hlm. 114), daerah dengan struktur ekonomi agraris dan jarak distribusi panjang akan menghadapi tekanan biaya tinggi yang mudah menular ke harga konsumsi.
Artinya, inflasi di Jambi bukan hanya persoalan angka, melainkan soal ketahanan logistik dan daya beli masyarakat.Inflasi Tak Sekadar UangDalam teori ekonomi modern, inflasi tidak lagi dianggap sekadar akibat “terlalu banyak uang mengejar barang yang sedikit”. Blanchard (2022, hlm. 142) melihat inflasi sebagai ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran agregat.
Sementara Romer (2019, hlm. 156) menekankan pentingnya ekspektasi rasional—masyarakat bereaksi bukan hanya terhadap kebijakan hari ini, tapi juga terhadap kepercayaan atas kebijakan pemerintah di masa depan.Dalam konteks Jambi, ekspektasi masyarakat terhadap kenaikan harga sering kali mendahului kenyataan. Menjelang hari besar keagamaan, harga melonjak bukan hanya karena pasokan berkurang, tetapi karena semua pihak “bersiap” menghadapi kenaikan itu.
Maka, inflasi di daerah sering kali bersumber dari perilaku sosial dan psikologi kolektif, bukan sekadar neraca keuangan (Mankiw, 2021, hlm. 88).Mengapa Jambi Rentan?Terdapat tiga faktor utama yang membuat Jambi lebih rentan terhadap inflasi.Pertama, harga pangan yang bergejolak, terutama pada komoditas beras, cabai, dan bawang.Kedua, biaya transportasi dan logistik yang tinggi akibat infrastruktur antarwilayah terbatas.Ketiga, penyerapan belanja daerah yang lambat.Hal terakhir ini menjadi perhatian serius Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dalam Rapat Koordinasi Nasional Pengendalian Inflasi Daerah pada 20 Oktober 2025. Ia menegaskan bahwa dana pemerintah daerah tidak boleh ditahan di kas daerah terlalu lama, karena akan menghambat perputaran ekonomi dan memperlemah daya beli masyarakat.“Dana APBD jangan dibiarkan mengendap. Segera gunakan untuk kegiatan produktif, siapkan laporan akuntabilitas dengan baik, karena setiap rupiah harus berdampak bagi masyarakat,” ujar Purbaya (Kemenkeu.go.id, 2025; DetikNews, 2025).
Menurutnya, percepatan realisasi belanja daerah akan memperkuat sisi permintaan agregat, memperlancar distribusi, dan menekan tekanan inflasi dari sisi pasokan. Pemerintah pusat mendorong agar pelaporan akuntabilitas disiapkan secara transparan agar daerah tidak ragu membelanjakan anggaran yang sudah tersedia (Kompas.com, 2025).Selain itu, perubahan iklim juga menambah ketidakpastian harga. Gagal panen di satu kabupaten dapat memicu kenaikan harga di seluruh provinsi.
Ini menegaskan perlunya ketahanan pangan regional melalui cadangan pangan daerah dan sistem distribusi terintegrasi (Krugman & Wells, 2022, hlm. 99).Langkah Cepat dan StrategisPemerintah Provinsi Jambi bersama Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) telah melakukan operasi pasar, subsidi ongkos angkut, serta koordinasi antarinstansi. Namun, strategi jangka pendek ini perlu diperkuat dengan transformasi struktural:
1. Mempercepat belanja daerah produktif, termasuk sektor infrastruktur distribusi dan pangan.2. Mendorong hilirisasi komoditas lokal seperti karet dan sawit agar nilai tambah ekonomi terjadi di dalam provinsi.3. Meningkatkan literasi keuangan masyarakat dan UMKM, sehingga pelaku ekonomi kecil lebih tangguh menghadapi fluktuasi harga.Seperti ditegaskan Stiglitz (2020, hlm. 175), kebijakan fiskal terarah (targeted fiscal policy) akan efektif jika didukung akuntabilitas publik yang tinggi dan partisipasi masyarakat dalam memahami tujuan kebijakan.Penutup: Disiplin dan Kepercayaan PublikInflasi bukan takdir ekonomi, tetapi hasil dari disiplin kebijakan dan kepercayaan publik (Mankiw, 2021, hlm. 92). Tantangan Jambi hari ini adalah bagaimana mengubah tekanan inflasi menjadi momentum memperkuat fondasi ekonomi daerah.Dengan percepatan belanja publik, pelaporan yang akuntabel, dan penguatan stok pangan lokal, Jambi memiliki peluang besar keluar dari kategori inflasi tinggi. Karena pada akhirnya, inflasi bukan hanya soal harga yang naik, tapi tentang kecepatan dan ketepatan pemerintah bertindak.————
Referensi PendukungAlesina, A. (2021). Political Economy and Fiscal Policy. Cambridge University Press.Blanchard, O. (2022). Macroeconomics. Pearson Education.Krugman, P., & Wells, R. (2022). Economics. Worth Publishers.Mankiw, N. G. (2021). Principles of Economics. Cengage Learning.Romer, D. (2019). Advanced Macroeconomics. McGraw-Hill Education.Stiglitz, J. E. (2020). People, Power, and Profits. W.W. Norton & Co.Sukirno, S. (2020). Makroekonomi Modern. Rajawali Pers.Badan Pusat Statistik (BPS). (2025). Berita Resmi Statistik Inflasi Jambi, September 2025.Kementerian Keuangan RI. (2025). Paparan Rakor Nasional Pengendalian Inflasi Daerah, 20 Oktober 2025.DetikNews. (2025). Menkeu: Dana Daerah Jangan Ditahan, Segera Belanjakan untuk Kegiatan Produktif.Kompas.com. (2025). Purbaya Yudhi Sadewa Dorong Daerah Percepat Realisasi Belanja.MetroJambi. (2025). Pemprov Jambi Perkuat Operasi Pasar Kendalikan Inflasi.———